Silvikultur Intensif (SILIN), Upaya Pengembalian Kejayaan Kehutanan Indonesia
Hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin rusak dan semakin parah. Dari luasan 130juta hektar, tak sampai 50% yang kondisinya masih baik. Sangat disayangkan memang jika hutan terus menerus dieksploitasi secara besar-besaran. Konsep HPH yang diterapkan pemerintah Orde Baru dahulu menjadi penginisiasi rusaknya hutan alam kita. Penebangan besar-besaran, ekspor kayu bulat begitu fantastis, membuat Indonesia menjadi pemain utama pasar kayu dunia pada saat itu. Hingga muncullah istilah “cuci mangkok”, hutan ibarat mangkok penuh berisi makanan, semua isinya dihabiskan tanpa sisa. Akhirnya tinggallah berjuta-juta hektar lahan bekas tebangan yang tak mereka tanami kembali.
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Tanggal 20 Juli 2004 Nomor : SK.194/VI-BPHA/2004, tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Sebagai Model Pembangunan Sistem Silvikultur Intensif, dan Pembentukan Tim Pelaksananya, maka lahirlah rejim Silvikultur Intensif atau SILIN. SILIN merupakan sebuah konsep untuk meningkatkan produktivitas hutan, merehabilitasi hutan, dan menjaga fungsi hutan yang digagas oleh Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc. Beliau adalah Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. SILIN lahir menggantikan sistem TPTI yang sebelumnya diterapkan di Indonesia.
Tiga pilar SILIN yaitu pemuliaan pohon, perlindungan hutan, dan manipulasi lingkungan. Pemuliaan pohon merupakan suatu ilmu yang bertujuan untuk memilih pohon dengan kualitas genetik terbaik yang mampu tumbuh dengan baik di lapangan. Kaitannya dengan SILIN adalah dengan memilih pohon terbaik, maka diharapkan produktivitas hutan akan meningkat. Kemudian pada sistem SILIN juga sangat diperlukan manipulasi lingkungan dan perlindungan hutan yang menjadi faktor penentu keberhasilan program ini.
Perbedaan yang membuat SILIN dikatakan lebih bagus dari pada TPTI adalah pengelolaan yang internsif mulai dari penataan areal, penyiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, hingga pemanenan. Terdapat perbedaan rancangan pola tanam pada SILIN. Pertanaman dibuat pada jalur dengan lebar 3m dan jarak antar pohon 2,5m. Pada jalur selebar 3m tersebut dilakukan pembersihan lahan secara vertical dan horizontal.
Dihutan alam Kalimantan, SILIN sudah banyak diterapkan oleh Perusahaan pemegang IUPHHK. Jenis pohon yang biasanya digunakan adalah dari family Dipterocarpa seperti Meranti, Keruing, dan Hopea. Jenis-jenis tersebut bertipe gap-opportunis dimana mereka memanfaatkan celah naungan untuk mendapatkan sinar matahari. Dengan penerapan SILIN diharapkan hutan dapat memproduksi kayu 200m3/ha/tahun pada daur yang lebih cepat. SILIN tak hanya berbicara mengenai produktivitas hutan, tetapi juga rehabilitasi lahan. Dengan pemilihan jenis-jenis pioneer diharapkan akan mengembalikan kualitas lahan yang tadinya rusak.
Secara konsep sebenarnya SILIN ini sangat bagus dan potensial. Namun keterbatasan prasarana membuat sistem ini belum berjalan 100% di Indonesia. Kedepannya, diharapkan pembangunan hutan dapat dipercepat dengan penggalakan sistem SILIN ini. Harapan besar tentunya, penerapan SILIN akan membawa hutan Indonseia kembali pada masa kejayaan seperti pada tahun 1960-1990an yang menjadi penggerak utama perekonomian negara.
referensi: www.silvikultur.com/Silvikultur_Intensif.html